Saya
tidak begitu mahir menulis. Begitu ingin menulis, saya akan menulis dengan atau
tanpa rujukan atau dasar yang biasanya digunakan penulis-penulis lainya. Esai,
artikel, makalah dan keluarganya pun kurang begitu saya kenali. Intinya saya
hanya menulis ketika saya ingin menulis.
Kali
ini saya akan menulis tentang guru. Mungkin karena terlalu banyak yang
mengucapkan selamat hari guru di media sosial dan saya membaca tulisan-tulisan
tentang guru di hari ini jadi saya ingin menulis tentang guru. Begitu pula
ketika membuka halaman facebook saya ada pemberitahuan salah satu teman
facebook saya bernama Himas Nur menandai saya dalam sebuah catatan. Isinya
tulisan dia terkait konservasi budaya. Banyak sekali hingga beberapa paragraf.
Yang saya pikirkan ketika membaca tulisannya, “kog bisa nulis sebanyak ini”.
Memang benar, saya “gumun” melihat kawan-kawan saya yang mampu menulis sebanyak
itu dan saya bisa menikmati tulisan itu ketika membacanya. Mungkin itu yang
disebut tulisan bagus karena pembaca dapat menikmati tulisan tersebut ketika
membacanya, ah, saya ingin dan semakin ingin sekali dapat menulis sebagus itu.
Guru
menurut saya adalah pendidik. Seperti kebanyakan orang memakai kata “mendidik”
untuk mendefinisikan profesi yang menurut saya hebat itu. ayah saya adalah guru
bagi saya ketika kecil mendidik saya untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan baik.
Tak banyak yang saya akan ceritakan tentang ayah saya bagaimana beliau
mengajarkan Al-Qur’an kepada saya. Yang membuat saya tertarik menceritakan ayah
saya ketika mendadi pendidik bagi saya adalah cara beliau yang terhitung keras.
Saya ingat ketika itu pukul setengah tiga sore, saya masih bermain kelereng di
rumahnya Ari- teman SD saya- RT 10 dan jarak dari rumah saya jauh sekali karena
rumah saya di RT 02 atau bisa dibilang ujung desa ke ujung desa yang lainya.
Pada waktu itu saya memang sudah kawatir karena biasanya pukul dua harus sudah
berada dirumah, mandi, lalu belajar mengaji tapi karena saking asyiknya bermain
kelereng saya berani menanggung resiko akan dimarahin sama ayah saya. Betul
juga, begitu tiba di rumah, saya langsung diseret ke kamar mandi, disiram, dan
disuruh mandi dengan beberapa pukulan ditubuh saya. Saya sampai menangis waktu
itu karena beberapa pukulan tepat kearah dada dan wajah saya. Tak sampai
disana, saya tetap disuruh belajar membaca Al-Qur’an walau keadaan menangis.
Lalu dilain hari ketika mengaji diajar oleh ayah saya, saya ditampar dan
diludahi karena tak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Ibu saya memang tak
sekeras ayah saya, namun beliau juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika saya
dan adek saya diajar oleh ayah saya karena kurang bisa belajar dengan baik
membaca Al-Qur’an. Setelah beberapa tahun saya akhirnya tahu bahwa dulu ayah
saya juga dibegitukan oleh kakek saya bahkan lebih keras lagi.
Ada
lagi cerita sepupu saya yang bahkan sampai dipukul dengan sapu karena tidak
bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Lalu beberapa kejadian di pondok – karena
rumah saya depan pondok- bahkan lebih keras lagi ketika para santri tidak
disiplin dalam belajar mengaji kitab. Intinya saya banyak menjumpai berbagai
‘kekerasan’ pada saat proses belajar mengaji disekitar saya. Saya tidak tahu
salah atau benar ketika saya menerima saja tidak sperti kejadian-kejadian di
televisi banyak oknum guru yang dilaporkan ke pihak berwenang karena melakukan
tindak kekerasan kepada siswanya dalam proses belajar mengajar. Pada waktu itu
entah karena takut karena itu ayah saya, atau karakter yang dibangun dalam
proses belajar membaca Al-Qur’an di lingkungan saya memang seperti itu sehingga
saya mewajarkan atau masih lekat sekali penganggapan guru yang punya ‘kualat’
ketika siswa melawanya dan berharap mendapat ‘barokah ‘ ilmunya ketika kita
patuh dan menghormatinya. Namun memang itu yang saya rasakan. Ayah saya juga
banyak cerita ketika beliau di pondok pesantren begitu tunduk dengan apapun
perintah yang dibebankan kepadanya. Perintah yang berkaitan dengan pembelajaran
atau sama sekali tak ada hubungannya dengan pembelajaran misalnya disuruh
membersihkan toilet rumah gurunya, atau mengurus kambing. Itu semua dilakukan
dengan ikhlas berharap ‘barokah’ ilmu dari gurunya. Ketika saya membaca sebuah
kitab - saya lupa judulnya apa- disitu diterangkan bahwa ilmu dari guru dapat
berupa apa saja, bahkan ketika kamu menunggu guru yang terlambat beberapa jam
untuk mengajar, mencatat semua yang dibicarakan guru, itu semua ada ilmu yang
tersisip di dalamnya. Ketika itu semua difikir secara logika memang tidak masuk
diakal, namun apakah semua harus dilogika? Saya pun begitu. Contohlah ketika ayah
saya disuruh mengurus kambing gurunya, mau-maunya ayah saya disuruh seperti
itu. Niat beliau di pondok pesantren bukan untuk jadi penggembala, tapi mencari
ilmu malah disuruh melakukan hal-hal seperti itu. namun ayah saya tidak
berfikir demikian. Seperti yang diajarkan oleh ayah saya, beliau meyakini bahwa
keikhlasan melakukan perintah gurunya itu adalah bagian dari ilmu yang
diajarkannya. Saya lantas berfikir, enak mungkin menjadi guru dapat menyuruh
murid-muridnya melakukan sesuatu. Tapi khayalanan itu semua terpatahkan oleh
cerita ayah saya bagaimana ketika gurunya menyuruh murid melakukan sesuatu
tidak dengan semena-mena. Dengan perkataan tolong dan tanpa meninggalkan
sisi-sisi kesopanan walupun itu dengan muridnya.
Dari
cerita saya dan ayah saya bagaimana belajar membaca Al-Qur’an saja harus
melalui prses yang bisa dibilang sangat keras bagi zaman sekarang namun sekapun
saya bhkan ayah saya tak berfikiran bahwa itu keras. Semua diambil positifnya.
Berkaca
dari itu, yang saya rasakan sekarang. Banyak guru yang tak pantas untuk
dihormati bahkan saya harus milih-milih siapa guru yang pantas dan tidak saya
hormati. Saya menulis demikian pun sudah menunjukkan bahwa saya tidak dapat
bersikap seperti ayah saya yang menghormati gurunya sedemikian hormatnya, bahkan
untuk ‘ngerasani’ gurunya pun ayah saya tak berani. Saya memberi kata ‘pantas’
berarti adapula kata ‘tidak pantas’. Memang benar, menurut saya selalam ini
menjadi siswa sampai sekarang, sya tidak dapat menerapkan ajaran ayah saya
bahwa semua guru itu harus dihormati. Sulit, apalagi ketika menjadi mahasiswa
seperti sekarang selayaknya mahasiswa yang lainya, saya juga berfikir kritis
terhadap apa yang ada disekitar saya bahkan terhadap guru saya sekalipun.
Lalu, bagaiman bisa
prinsip itu tidak dapat digunakan pada zaman sekarang?
Apakah proses belajar
yang seperti itu bisa diterapkan pada zaman sekarang?
Mungkin
kedua pertanyaan itu yang ada dibenak saya sekarang. Ketika saya harus
memilah-milah mana guru yang pantas saya hormati, mana guru yang tidak pantas
saya hormati sudah tidak mnganut prinsip yang ayah saya gunakan dulu. Lalu
dengan proses beljar yang seperti itu, saya saja bahkan tidak mengindahkan
tugas yang diberikan oleh guru saya apalagi harus melakukan perintahnya semisal
mengurus kambing, malah tidak akan pernah saya lakukan.
Ternyata
ada beberapa aspek yang perlu dilihat dari seorang guru dan siswa. Ketika saya
mencoba menghubungkan fenomena yang saya alami pada zaman sekarang, mungkin
ketika ayah saya begitu patuh dan menghormati gurunya karena memang guru itu
pantas untuk dihormati. Ayah saya belum menemukan saja guru yang mungkin tidak
pantas baginya untuk dihormati. Lalu dengan cara berfikir siswa yang semakin
berkembang menjadikan siswa pun dapat menilai baik dan buruknya proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru.
Atau
saya terlalu memaksakan pikiran dan mencari pembenaran atas apa yang saya alami
di zaman sekarang karena memang saya terlalu naif untuk mengakui bahwa saya
dapat berfikir seperti ini pun tak terlepas dari ilmu yang diajarkan oleh guru
saya. Saya terlalu mencari efek langsung dari apa yang telah diajarkan oleh
guru dan mengabaikan hal-hal yang secara tak saya sadari saya merasakan efeknya
dan itu pastinya dari guru.
Saya
yakin tidak semua orang seperti saya, masih banyak yang patuh dan menghormati
guru tanpa syarat. Tanpa harus melihat pantas tidaknya, tanpa berfikir bahwa
cara mengajar guru adalah harus sesuai dengan teori-teori yang diajarkan dalam
buku.
Guru
layaknya orang tua semoga masih dapat tercipta dewasa ini. Keramat yang ampuh
dan ‘ngualati’ ketika tak menghormatinya.
Saya
khawatir kalau nanti orang akan menganggap bahwa guru adalah yang memberi ilmu
secara langsung. Kita bisa menghitung karena mendapat ilmu matematika dan
itulah guru matematika. Kalau kita bisa sukses itu bukan dari guru karena tidak
ada guru mata pelajaran sukses. Semoga tak sampai seperti itu.
Saya
tidak tahu akan saya apakan tulisan ini. Tak ada dasar, teori, atau rujukan
yang saya gunakan. Disebut tulisan apa pun saya tidak tahu karena saya hanya
menulis apa yang saya ingin tulis.
Karena
ini hari guru nasional saya menulis tentang guru, bisa jadi sebab akibat itu
bisa digunakan dasar mengapa saya malam ini menulis. J