Kamis, 27 November 2014

SOLIDARITAS UNTUK REMBANG

lirik lagu Solidaritas untuk rembang #saverembang

 solidaritas untuk rembang

Solidari-solidaritas untuk rembang
Solidari-solidaritas untuk rembang
Solidari-solidaritas untuk rembang
Bersatu padu melawan penambangan
Panjang umur para pembangkang
Perjuangkan tanah di rembang
Perlawanan untuk penambang
Tetap bertahan dan berjuang
Mata air sumber kehidupan
Bukan air mata kesedihan
Save kendeng for live
Demi lahan penghidupan
Digusur dan menggusur
Demi lahan penghidupan
Di tenda-tenda penolakan
Bersatu padu semangat perlawanan
Pegunungan kendeng tolak penambangan
Lawan korporasi perusak lingkungan
Bahwa konservasi selalu diabaikan

Selasa, 25 November 2014

Selamat Hari Guru Nasonal

Saya tidak begitu mahir menulis. Begitu ingin menulis, saya akan menulis dengan atau tanpa rujukan atau dasar yang biasanya digunakan penulis-penulis lainya. Esai, artikel, makalah dan keluarganya pun kurang begitu saya kenali. Intinya saya hanya menulis ketika saya ingin menulis.
Kali ini saya akan menulis tentang guru. Mungkin karena terlalu banyak yang mengucapkan selamat hari guru di media sosial dan saya membaca tulisan-tulisan tentang guru di hari ini jadi saya ingin menulis tentang guru. Begitu pula ketika membuka halaman facebook saya ada pemberitahuan salah satu teman facebook saya bernama Himas Nur menandai saya dalam sebuah catatan. Isinya tulisan dia terkait konservasi budaya. Banyak sekali hingga beberapa paragraf. Yang saya pikirkan ketika membaca tulisannya, “kog bisa nulis sebanyak ini”. Memang benar, saya “gumun” melihat kawan-kawan saya yang mampu menulis sebanyak itu dan saya bisa menikmati tulisan itu ketika membacanya. Mungkin itu yang disebut tulisan bagus karena pembaca dapat menikmati tulisan tersebut ketika membacanya, ah, saya ingin dan semakin ingin sekali dapat menulis sebagus itu.
Guru menurut saya adalah pendidik. Seperti kebanyakan orang memakai kata “mendidik” untuk mendefinisikan profesi yang menurut saya hebat itu. ayah saya adalah guru bagi saya ketika kecil mendidik saya untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan baik. Tak banyak yang saya akan ceritakan tentang ayah saya bagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada saya. Yang membuat saya tertarik menceritakan ayah saya ketika mendadi pendidik bagi saya adalah cara beliau yang terhitung keras. Saya ingat ketika itu pukul setengah tiga sore, saya masih bermain kelereng di rumahnya Ari- teman SD saya- RT 10 dan jarak dari rumah saya jauh sekali karena rumah saya di RT 02 atau bisa dibilang ujung desa ke ujung desa yang lainya. Pada waktu itu saya memang sudah kawatir karena biasanya pukul dua harus sudah berada dirumah, mandi, lalu belajar mengaji tapi karena saking asyiknya bermain kelereng saya berani menanggung resiko akan dimarahin sama ayah saya. Betul juga, begitu tiba di rumah, saya langsung diseret ke kamar mandi, disiram, dan disuruh mandi dengan beberapa pukulan ditubuh saya. Saya sampai menangis waktu itu karena beberapa pukulan tepat kearah dada dan wajah saya. Tak sampai disana, saya tetap disuruh belajar membaca Al-Qur’an walau keadaan menangis. Lalu dilain hari ketika mengaji diajar oleh ayah saya, saya ditampar dan diludahi karena tak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Ibu saya memang tak sekeras ayah saya, namun beliau juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika saya dan adek saya diajar oleh ayah saya karena kurang bisa belajar dengan baik membaca Al-Qur’an. Setelah beberapa tahun saya akhirnya tahu bahwa dulu ayah saya juga dibegitukan oleh kakek saya bahkan lebih keras lagi.
Ada lagi cerita sepupu saya yang bahkan sampai dipukul dengan sapu karena tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Lalu beberapa kejadian di pondok – karena rumah saya depan pondok- bahkan lebih keras lagi ketika para santri tidak disiplin dalam belajar mengaji kitab. Intinya saya banyak menjumpai berbagai ‘kekerasan’ pada saat proses belajar mengaji disekitar saya. Saya tidak tahu salah atau benar ketika saya menerima saja tidak sperti kejadian-kejadian di televisi banyak oknum guru yang dilaporkan ke pihak berwenang karena melakukan tindak kekerasan kepada siswanya dalam proses belajar mengajar. Pada waktu itu entah karena takut karena itu ayah saya, atau karakter yang dibangun dalam proses belajar membaca Al-Qur’an di lingkungan saya memang seperti itu sehingga saya mewajarkan atau masih lekat sekali penganggapan guru yang punya ‘kualat’ ketika siswa melawanya dan berharap mendapat ‘barokah ‘ ilmunya ketika kita patuh dan menghormatinya. Namun memang itu yang saya rasakan. Ayah saya juga banyak cerita ketika beliau di pondok pesantren begitu tunduk dengan apapun perintah yang dibebankan kepadanya. Perintah yang berkaitan dengan pembelajaran atau sama sekali tak ada hubungannya dengan pembelajaran misalnya disuruh membersihkan toilet rumah gurunya, atau mengurus kambing. Itu semua dilakukan dengan ikhlas berharap ‘barokah’ ilmu dari gurunya. Ketika saya membaca sebuah kitab - saya lupa judulnya apa- disitu diterangkan bahwa ilmu dari guru dapat berupa apa saja, bahkan ketika kamu menunggu guru yang terlambat beberapa jam untuk mengajar, mencatat semua yang dibicarakan guru, itu semua ada ilmu yang tersisip di dalamnya. Ketika itu semua difikir secara logika memang tidak masuk diakal, namun apakah semua harus dilogika? Saya pun begitu. Contohlah ketika ayah saya disuruh mengurus kambing gurunya, mau-maunya ayah saya disuruh seperti itu. Niat beliau di pondok pesantren bukan untuk jadi penggembala, tapi mencari ilmu malah disuruh melakukan hal-hal seperti itu. namun ayah saya tidak berfikir demikian. Seperti yang diajarkan oleh ayah saya, beliau meyakini bahwa keikhlasan melakukan perintah gurunya itu adalah bagian dari ilmu yang diajarkannya. Saya lantas berfikir, enak mungkin menjadi guru dapat menyuruh murid-muridnya melakukan sesuatu. Tapi khayalanan itu semua terpatahkan oleh cerita ayah saya bagaimana ketika gurunya menyuruh murid melakukan sesuatu tidak dengan semena-mena. Dengan perkataan tolong dan tanpa meninggalkan sisi-sisi kesopanan walupun itu dengan muridnya.
Dari cerita saya dan ayah saya bagaimana belajar membaca Al-Qur’an saja harus melalui prses yang bisa dibilang sangat keras bagi zaman sekarang namun sekapun saya bhkan ayah saya tak berfikiran bahwa itu keras. Semua diambil positifnya.
Berkaca dari itu, yang saya rasakan sekarang. Banyak guru yang tak pantas untuk dihormati bahkan saya harus milih-milih siapa guru yang pantas dan tidak saya hormati. Saya menulis demikian pun sudah menunjukkan bahwa saya tidak dapat bersikap seperti ayah saya yang menghormati gurunya sedemikian hormatnya, bahkan untuk ‘ngerasani’ gurunya pun ayah saya tak berani. Saya memberi kata ‘pantas’ berarti adapula kata ‘tidak pantas’. Memang benar, menurut saya selalam ini menjadi siswa sampai sekarang, sya tidak dapat menerapkan ajaran ayah saya bahwa semua guru itu harus dihormati. Sulit, apalagi ketika menjadi mahasiswa seperti sekarang selayaknya mahasiswa yang lainya, saya juga berfikir kritis terhadap apa yang ada disekitar saya bahkan terhadap guru saya sekalipun.
Lalu, bagaiman bisa prinsip itu tidak dapat digunakan pada zaman sekarang?
Apakah proses belajar yang seperti itu bisa diterapkan pada zaman sekarang?
Mungkin kedua pertanyaan itu yang ada dibenak saya sekarang. Ketika saya harus memilah-milah mana guru yang pantas saya hormati, mana guru yang tidak pantas saya hormati sudah tidak mnganut prinsip yang ayah saya gunakan dulu. Lalu dengan proses beljar yang seperti itu, saya saja bahkan tidak mengindahkan tugas yang diberikan oleh guru saya apalagi harus melakukan perintahnya semisal mengurus kambing, malah tidak akan pernah saya lakukan.
Ternyata ada beberapa aspek yang perlu dilihat dari seorang guru dan siswa. Ketika saya mencoba menghubungkan fenomena yang saya alami pada zaman sekarang, mungkin ketika ayah saya begitu patuh dan menghormati gurunya karena memang guru itu pantas untuk dihormati. Ayah saya belum menemukan saja guru yang mungkin tidak pantas baginya untuk dihormati. Lalu dengan cara berfikir siswa yang semakin berkembang menjadikan siswa pun dapat menilai baik dan buruknya proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Atau saya terlalu memaksakan pikiran dan mencari pembenaran atas apa yang saya alami di zaman sekarang karena memang saya terlalu naif untuk mengakui bahwa saya dapat berfikir seperti ini pun tak terlepas dari ilmu yang diajarkan oleh guru saya. Saya terlalu mencari efek langsung dari apa yang telah diajarkan oleh guru dan mengabaikan hal-hal yang secara tak saya sadari saya merasakan efeknya dan itu pastinya dari guru.
Saya yakin tidak semua orang seperti saya, masih banyak yang patuh dan menghormati guru tanpa syarat. Tanpa harus melihat pantas tidaknya, tanpa berfikir bahwa cara mengajar guru adalah harus sesuai dengan teori-teori yang diajarkan dalam buku.
Guru layaknya orang tua semoga masih dapat tercipta dewasa ini. Keramat yang ampuh dan ‘ngualati’ ketika tak menghormatinya.
Saya khawatir kalau nanti orang akan menganggap bahwa guru adalah yang memberi ilmu secara langsung. Kita bisa menghitung karena mendapat ilmu matematika dan itulah guru matematika. Kalau kita bisa sukses itu bukan dari guru karena tidak ada guru mata pelajaran sukses. Semoga tak sampai seperti itu.
Saya tidak tahu akan saya apakan tulisan ini. Tak ada dasar, teori, atau rujukan yang saya gunakan. Disebut tulisan apa pun saya tidak tahu karena saya hanya menulis apa yang saya ingin tulis.

Karena ini hari guru nasional saya menulis tentang guru, bisa jadi sebab akibat itu bisa digunakan dasar mengapa saya malam ini menulis. J