Senin, 31 Oktober 2016

Sok Penulis Kau Ini



Suka saja ada yang berkomentar pada tulisanku yang kubagikan entah lewat omongan atau melalui halaman media sosial. Tapi malah mencari pembenaran jika komentanya jauh dari harpan. Aku terus saja berusaha menjadi seperti dia, dia, dia, dan dia yang banyak disana. Begitu mudahnya mereka menulis seakan akan dia, dia, dia, dan dia jika menulis satu kata saja dipandang indahnya minta mpun. Aku? Mana bisa? Pernah suatu siang kubacakan tulisanku “sajak media” kepada mereka yang sudah ada di blog pribadiku pun aku masih menyuntingnya seketika itu juga. Bagaimana tidak, saat kubacakan, dua baris sebelum selesai kumenyadari tulisanku begitu wagu. Ah asu. Sadarkan aku bahwa aku hanyalah sok penulis biar dikira punya karya. Tak semudah menulis seperti dia, dia, dia, dan dia. Wagu akhirnya menjadi rahasia, salah menjadi indah, dan kekeliruan jeda menjadi istimewa. Percuma jika ini kuteruskan, aku tak tahu menahu apa itu tulisan yang bagus sehingga dia, dia, dia, dan dia bisa menjadi dia, dia, dia, dan dia.


Semarang, 31 oktober 2016

Arogenji

Terduduk Sepi


Suara hujan di luar berusaha mengharmoni
Kaki-kaki menyapu celana jeans bekas di depan kamar
Sejelas itu aku tak pernah dengar
Bagaimana aku ini?
Sepi telah membuatku tuli
Otak bekerja meramu mimpi yang selalu saja jadi mimpi
Angan tak terbatas itu kata orang
Bagiku tetap saja semua kalah dengan keheningan ini
Ah...
Obrolanku hanya dengan pekat dan terang lampu 15 watt
Tak sedikitpun bergeser
Hanya menikmati atau malah aku yang dinikmati
Dan semuanya telah mati
Dibunuh.....
Bukan... bukan... bukan...
Aku yang membunuh diriku sendiri dengan sepi


Semarang, 31 oktober 2016

Arogenji

Jumat, 13 Februari 2015

Surat Rahasia

Surat berbahasa Indonesia yang kutulis untuk seseorang. Namanya ada di dalam surat ini.
A=93. B=8. C=2. D=16. E=28. F=1. G=17. H=11. I=25. J=3. K=17. L=8. M=16. N=49. O=0. P=5. Q=0. R=12. S=13. T=17. U=22. V=0. W=1. X=0. Y=12. Z=0. =57. .=8. ,=1.

Selasa, 10 Februari 2015

Apa Yang Akan Dilakukan Masyarakat Ketika Koruptor Dilepas Ditengah-tengah Mereka?

Apa Yang Akan Dilakukan Masyarakat Ketika Koruptor Dilepas Ditengah-tengah Mereka?
Pertanyaan yang beberapa hari ini selalu muncul dipikiran saya, menghantui bak kenangan bersama mantan yang sulit dilupakan. J
Sepintas ini membuat senyum meringis dari beberapa pembaca yang seolah-olah sudah tahu jawabannya, namun saya benar-benar ingin terpuaskan secara nyata (tanpa teori) atau bisa dibilang saya ingin ada praktek langsung ketika memang benar-benar ada koruptor yang popular karena sering diberitakan di berbagai media itu dilepas di tengah-tengah masyarakat.
Tempo hari saya membaca berita di media cetak, ada seorang pemuda babak belur dihajar warga karena ketahuan mencuri sajadah di masjid. nah, berawal dari situlah pertanyaan saya muncul, apa yang akan dilakukan masyarakat ketika koruptor dilepas ditengah-tengah mereka?. Tentunya akan ada respon dari masyarakat perihal adanya koruptor di tengah-tengah mereka, namun ini bukan soal respon seperti apa yang akan dilakukan oleh masyarakat, akan tetapi masyarakat akan menganggap apa koruptor itu yang akhirnya mendasari tindakan selanjutnya terhadap koruptor tersebut.
Sebelum lebih lanjut, saya akan mengutip beberapa pengertian korupsi dari berbagai sumber. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara(perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lai. Sedangkan dalam UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan :
·           Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 2).
·           Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara (pasal 3).
·           Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6, dan 11)
·           Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10)
·           Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
·           Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
·           Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C)
Dari pengertian tersebut kita tahu bahwa koruptor adalah orang yang melakukan tindakan-tindakan yang telah dijelaskan diatas. Kalau menurut pengertian yang lebih sederhana dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, Korupsi adalah mencuri berarti koruptor adalah pencuri. Nah ketika dihubungkan dengan persepsi masyarakat tentang koruptor adalah pencuri, lalu apa yang akan dilakukan masyarakat terhadap pencuri yang ada disekitar mereka?
Penegak hukum seperti Polisi terkadang tak mampu berbuat apa-apa ketika ada pencuri yang tertangkap oleh warga masyarakat dan selanjutnya hukum wargalah yang bertindak. Tak jarang pencuri yang tertangkap itu habis babak belur bahkan ada yang sampai meninggal dunia akibat dikeroyok oleh warga. Terlepas dari apakah itu bentuk ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat akan hukuman yang dijatuhkan oleh polisi kepada pencuri atau pencuri di mata masyarakat adalah hal yang benar-benar patut untuk disingkirkan, diberi pelajaran sampai benar-benar memberikan efek jera kepada pencuri tersebut.
Namun begitu banyaknya kejadian dimana pencuri yang tertangkap oleh masyarakat akhirnya dihakimi sendiri berarti masyarakat mau turun tangan terhadap tindakan pelanggaran hukum tersebut. Mulai dari tindakan prefentif seperti adanya pos ronda, lalu ikut mengejar ketika ada pencuri yang kepergok oleh warga dan akhirnya melakukan tindakan represif berupa mengeroyok bersama-sama sampai babak belur bahkan sampai meningal dunia. Lalu bagaimana dengan koruptor?
Kita seakan-akan diarahkan oleh media atau entah siapapun itu bahwa koruptor mempunyai pengertian berbeda dengan pencuri. Salah satu respon dari masyarakat yang saya pun belum dapat menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi adalah ketika koruptor mencalonkan diri sebagai wakil atau pemimpin masyarakat akhirnya berhasil jadi. Di beberapa daerah di Indonesia sering kita jumpai kasus seorang tersangka korupsi atau bahkan bekas narapidana kasus korupsi berhasil menjadi pemimpin daerah. Memang tidak ada yang salah terkait pencalonannya, karena menurut undang-undang pun diperbolehkan, akan tetapi apa sebenarnya yang ada dibenak masyarakat pada saat itu.
Contoh kecil saja di daerah saya, ada mantan narapidana kasus pencurian yang sampai sekarang tak sedikit orang masih berburuk sangka padanya, sekalipun dia bertaubat dan sekarang menjadi buruh pabrik. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sulit dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan kepercayaannya terhadap pencuri tersebut.
Masyarakat semakin muak menjurus ke tidak peduli dengan kasus-kasus korupsi yang sedang dan terus menerus tiada henti menghiasi media massa khususnya televisi. Hukuman yang diberikan seakan-akan tak berefek kepada yang lainya. Korupsi di Indonesia terus saja bertumbuh dan semakin menjadi-jadi. Kalau sudah seperti itu, apa yang akan dilakukan masyarakat ketika koruptor dilepas ditengah-tengah mereka?
M. Ashdaq Fillah

Semarang, 10 Februari 2015

Minggu, 08 Februari 2015

Kita Masih(kah) Berteman, Teman

Ini untuk saya

Berapa jam yang kau habiskan untuk menatap layar elektronik itu? pernahkah kau menghitungnya? Atau kau tak sadar ternyata waktu untuk menatap layar elektronik itu lebih besar daripada yang lainnya?

Ini untuk saya lagi

Sejak kapan kau pegang benda itu? perubahan apa yang kau alami? Berapa jumlah temanmu sekarang? Tunggu, teman kau artikan apa? Nyata atau maya? Kapan terakhir kau bertemu temanmu yang barusan kau sapa lewat benda itu?

Lagi-lagi untuk saya

Apa yang kau artikan dari bersosial? Berapa jumlah temanmu di media sosial? Media sosial yang nyata atau maya? Kalau kau bersosial dengan di media sosial maya, kapan terakhir kau menyapa temanmu? Kapan akan bertemu?

Masih untuk saya

Pernahkah kau kesepian padahal jumlah temanmu di media sosial terus bertambah? Pernahkah kau melihat perubahan wajah temanmu? Apakah kau tau mau mencium bau badannya, menepuk pundaknya, berbagi jaket untuk menghangatkannya, minum kopi segelas bersama-sama?

Sekali lagi untuk saya

Kau punya Handphone? Berapa jumlah daftar nomer telepon yang kau simpan? Kapan terakhir kau menyapanya? Masih aktifkah nomer itu? masih hidupkah temanmu?

Ini benar-benar untuk saya

Lima tahun terakhir bisa kau hitung berapa temanmu? Kapan kau mengunjunginya? Bercerita, bertatap muka di rumahnya? Benarkah lima tahun terakhir kau tak sekalipun ke rumah temanmu yang tak berjarak? Apa kau masih hidup atau dia masih hidup?

Saya tegaskan ini untuk saya

Maukah kau berbagi waktu denganku? Maukah kau mengunjungi atau kukunjungi? Maukah menghabiskan waktu denganku? Maukah kau mencelaku, menasihatiku, menolongku? Maukah kau menyentuhku? Maukah kau merusak tatanan rambutku, menarik kupungku, memukul tanganku, menendang kakiku, menginjak sepatuku? Mau kau bertemu denganku, teman?

Arogenji. Semarang, 8 Februari 2015

Sabtu, 07 Februari 2015

KPK dan POLRI

KPK dan POLRI

Banyak orang menganggapmu sebagai pahlawan
Mengapa kau sia-siakan
Seolah hanya kau yang menikmati peran
Saat rakyat mulai turun ke jalan
Seharusnya tugasmu lebih ringan
Karena mereka mau turun tangan
Kau hanya instansi pemerintahan
Bukan pencari perhatian, apalagi kawan
Tak malu dengan slogan yang kau ucapkan
Tak malu dengan prestasi yang kau banggakan
Bukan janji yang rakyat harapkan
Bukan pula ketenaran
Yang pasti adalah gerakan
Rakyat menganggapmu sebagai teman bukan penampakan
Kalian pun berteman lalu mengapa saling mengorbankan
Sekali lagi kalian bukan pencari perhatian
Buktikan
Buktikan
Kepedulian rakyat jangan kau sia-siakan
Dengan sendirian menikmati peran
Banyak anak kecil yang bermimpi
Suatu saat akan jadi polisi
Sejak kecil ditanamkan anti korupsi
Karena mereka adalah generasi
Seharusnya kalian malu melihat yang terjadi
Apa kau tega menghianati
Lihat disana koruptor menari
Melihat KPK dan PORLI bertikai sendiri
Yang seharusnya membasmi penyakit masyarakat yang menjadi musuh abadi
Rakyat sudah sakit hati
Ketika kepeduliannya kau anggap basi
Rakyat berpartisipasi kau bilang jangan ikut campur urusan kami
Ketika kalian merasa sendiri
Kalian mencari perhatian dengan muncul di TV
Dengan membawa kasus korupsi
Berhasil menangkap sana-sini
Kalian menyuguhkan prestasi sampai rakyat bersimpati
Namun saat rakyat mengkritisi
Kalian anggap itu caci maki
membuat surat penangkapan yang berakhir di bui
Kalian selalu bilang jangan korupsi
esoknya diperiksa terkait korupsi
saat ini kalian tak bersinergi
kalian berkilah pendewasaan diri
sampai kapan ini akan terjadi
koruptor bisa mati namun tidak dengan korupsi
selama kalian tak segan menghianati
hati rakyat yang sudah tersakiti
AROGENJI. Semarang, 25 Januari 2015

SEKOLAH UNTUK DUNIA & AKHIRAT

Mira selalu rajin menghampiri Ida dengan wajah segar terlihat dari pinggiran kerudung diwajahnya yang masih basah. Mungkin sebelumnya dia hanya wudlu atau mandi yang jelas semerbak wangi tercium dari rumah kontrakanku yang memang tak ada jarak dengan rumah Ida. Wangi khas sabun mandi anak seumuran mereka atau bedak aku tak tahu pasti yang jelas aku mengenal wangi itu khas wangi anak-anak. Ida, anak pak Bambang pemilik rumah kontrakan yang ku tempati sekarang adalah siswi kelas 5 MI. Hal itu kuketahui dari LKS bahasa Indonesia yang tergeletak di dipan depan rumahnya.
Setiap menjelang sore sekitar pukul setengah tiga, dari kamarku terdengar suara Mira memanggil-manggil nama Ida, aku mengerti berarti sudah waktunya mereka sekolah. Tak jarang Mira hanya duduk diluar tanpa memanggil ida. Dia hanya menunggu sambil bermain rumput dipekarangan rumah ida, mengambil pecahan genting untuk bahan mainan, mengoret-oret tanah, entah menulis atau melukis aku juga tidak tahu tapi kepolosan anak seusianya tampak jelas dari tingkah lakunya yang seperti itu. Kadang ida keluar sebentar menghampiri mira dengan hanya memakai kaos dan bawahan hijau seragam MI yang masih dikenakannya untuk mengajak masuk.
Mereka selalu berangkat bersama di antar bu Ani istri pak Bambang ke sekolah. Bukan sekolah formal dengan seragam yang ditentukan, saku dengan bordiran lambang sekolah, tempelan di lengan yang menunjukkan tingkatan kelas, bersabuk, berkaos kaki, bersepatu, serta penggunaanya ditentukan dengan jadwal, namun ini adalah sekolah Diniyyah atau beberapa orang ada yang menyebutnya sekolah Arab yang hanya wajib menggunakan pakaian sopan, berkerudung bagi yang wanita dan berpeci bagi yang laki-laki. Tak harus menggunakan tas untuk wadah buku beserta alat tulis lainnya, bahkan di daerahku Lasem kebanyakan murid-murinya hanya menenteng kitab dan menyelipkan pulpen di pecinya setiap berangkat sekolah Diniyyah. Sekolah Diniyyah berorientasi pada pembekalan ajaran agama kepada anak umur antara TK sampai SMP bahkan ada yang SMA. Jadi paginya mereka sekolah formal, sorenya sekolah Diniyyah.
bu Ani mengantar Mira dan Ida pergi sekolah Diniyyah dengan motor Grand lamanya. suara kenalpotnya khas, cempreng tak sehalus motor keluaran sekarang, bodi motornya pun sudah dipreteli, bisa dibilang tinggal rangkanya saja. Mira dan ida selalu pamit kepada pak Bambang ketika beliau ada di rumah, meskipun Mira bukan anak kandung pak Bambang namun Mira memang dekat sekali dengan kelaurganya Ida. Mungkin karena terlalu dekatnya mira dengan ida, hampir setiap hari kulihat Mira dan Ida bersama baik berangkat sekolah, pulang sekolah maupun bermain. Kadang sampai Mira tidur siang di rumah Ida.
Aku melihat rutinitas itu mengingatkanku apa yang pernah kulakukan dulu. Lasem memang banyak tersebar sekolah Diniyyah jadi sudah hal yang wajar kalau diwaktu siang sampai sore jalanan desaku terlihat lengang. Dulu aku masih ingat betul masuk sekolah Diniyyah ketika umurku masih 5 tahun. Ya, aku masih kelas A di TK. Sekolah Diniyyahku pun bertempat sama seperti TK ku. Setiap pukul setengah dua siang pasti aku sudah bersiap-siap, memakai celana, baju koko, peci dan tas. Tas yang kupakai pun sama dengan tasku diwaktu paginya. Sebelum berangkat aku meindahkan buku-buku pagiku dan kuganti dengan buku Iqro. Aku dulu sekolah Diniyyah sampai kelas enam, berarti saat itu aku kelas 3 SMP.
Kegelisahanku muncul ketika aku yang sudah jarang pulang ke rumah karena kuliah mendapati fakta bahwa anak-anak sekarang sudah disibukkan dengan kegiatan selokah paginya. Ada yang pulang sampai setengah tiga, bahkan sampai sore baru pulang karena ada kegiatan tambahan. Lalu waktu mereka untuk mengenyam pendidikan agama darimana?
Kalau dihitung-hitung waktu untuk bermainku dulu masih ada walupun aku sekolah Diniyyah, jadi paginya aku sekolah formal, siang sekolah Diniyyah, sore aku masih bisa bermain. Namun sekarang, banyak orang tua beralasan bahwa anak mereka sudah tidak punya waktu lagi untuk belajar agama apalagi bermain. Orang tua akan lebih bangga anaknya belajar di rumah baik belajar tentang ilmu agama ataupun ilmu umum dibanding belajar di sekolah Diniyyah, disamping memang waktunya yang kian padat untuk anak jaman sekarang, belajar di rumah dirasa lebih simpel dan efektif.
sekolah Diniyyah hanya salah satu wadah untuk anak belajar agama. Kalau begitu apakah dari sekolah formal saja sudah cukup? Aku ingat apa yang dikatakan guru agama SMA ku. Saat itu beliau mengomentari tentang pemadatan jam pelajaran untuk kelas 3 karena akan menghadapi ujian nasional. “Bagaimana indonesia bisa maju kalau pengajaran agama saja masih dikesampingkan, lihatlah posisi mata pelajaran agama yang ditaruh paling atas pada raport, dalam kenyataannya tak sebanding dengan posisinya” ujar beliau dengan nada bercanda namun aku tahu beliau serius mengucapkan hal demikian.
Aku acap kali rindu dengan suasana itu, suasana anak-anak sedang semangat-semangatnya belajar agama melalui sekolah Diniyyah. Paling tidak nilai positif yang didapat selain pastinya ada pengetahuan tambahan tentang ilmu agama, mereka juga masih punya waktu untuk bersosial, bertemu dengan teman-temannya yang dewasa ini sulit mencari waktu bagi anak untuk bersosial.
Ketika aku menulis ini pun aku sangat senang masih melihat Mira dan Ida diantar ibunya ke sekolah Diniyyah.

 AROGENJI. Semarang, 7 Februari 2014